Senin, 21 Maret 2016


Dikisahkan KH. Zuhri Zaini BA pada pertemuan rutin P4NJ Korda Bondowoso pada tanggal 06 Desember 2015. Segar teringat dalam pikiran sebuah cerita histori edukatif tentang KH. Kholil al-Bangkalani.
Awal cerita, dikisahkan pada saat itu seorang ibu mendapati anaknya yang masih balita mengalami candu tingkat tinggi terhadap gula. Kontan hal itu membuat sang ibu menjadi resah dan gelisah. Ia pun berniat untuk berkunjung ke dalem (Rumah) KH. Kholil. Maksud dan tujuan tidak lain untuk meminta doa beliau agar candu anaknya terhadap gula menjadi berkurang atau bahkan hilang. 
Singkat cerita, akhirnya sang ibu pun berangkat ke dalem beliau. Setibanya di sana ia langsung menemui KH. Kholil. Tanpa berpikir panjang sang ibu langsung menjelaskan maksud kedatangannya dan kondisi si bayi. Mendengar cerita sang ibu, sang kyai pun berkata, “Ibu pulang dulu, setelah 3 hari, silakan ibu kembali dengan bayi ibu”. Dengan perasaan harap2 cemas sang ibu pun kembali ke rumah.
3 hari kemudian ibu tersebut kembali mendatangi kediaman KH. Kholil. Ia pun kembali menemui beliau. Alangkah kagetnya sang ibu. Ternyata, KH. Kholil hanya membisikkan kata-kata lembut di telinga si bayi. “Nak, jhek neng senneng pole ka ghule ghi….” (Nak…, jangan Terlalu senang lagi terhadap Gula ya!), begitu kira-kira yang beliau bisikkan kepada si bayi. Sang kyai pun menyuruh sang ibu kembali pulang ke rumah.
Sungguh aneh tapi nyata, setelah dari kediaman sang kyai si bayi ternyata benar-benar tidak lagi candu terhadap gula. Ia tidak rewel lagi walaupun tidak diberi gula oleh sang ibu. Hal itu sangat berbeda dengan sebelumnya. Kini sang ibu sungguh penasaran mendapati keadaan yang terjadi. Ia pun kembali berkeinginan menemui sang kyai.
Keesokan harinya sang ibu kembali menemui sang kyai. Ia bertanya, “padahal kyai hanya membisikkan kata-kata yang sesungguhnya saya pun bisa mengucapkannya”. “Apakah ada rahasia lain?” Pungkasnya. “Saya hanya tidak mengkonsumsi gula selama tiga hari”, jawab kyai. Sang ibu pun diam seraya berpikir keras menangkap jawaban kyai.
Benang merah dari cerita di atas. Sungguh urgen dalam memberikan pemahaman terhadap orang lain. Baik berupa tanggapan, kiritik, fatwa, edukasi atau apapun namanya. Hendaklah kita mulai dari diri kita. Terkadang hal yang kita sampaikan dan ucapkan sungguh ringan. Padahal kata-kata tersebut berkonsekuensi sangat berat. 
Terima kasih sang Guru (KH. Zuhri Zaini). Sangatlah indah makna dari cerita di atas. Andai seseorang melakukan hal seperti cerita di atas dalam kehidupan sehari-hari, ketenteraman dalam masyarakat tidaklah menjadi mustahil. Paradok dengan akhir-akhir ini yang kita alami. Tidak sedikit fatwa seorang pemuka agama bertema buram, orientasinya pun kelam. Mereka lebih memilih membahas politik daripada sains. Padahal status mereka jelas sebagai pemimpin umat. Tidakkah cukup kita serahkan pada mereka yang memang pakarnya. Ah sudahlah……!!!
Sangat jarang tokoh seperti KH. Zuhri Zaini. Beliau selalu menempatkan sesuai ranah dan domainnya dalam menyampaikat fatwa-fatwanya, sungguh arif. Padahal pidato yang beliau sampaikan 3 hari sebelum pemilukada Situbondo digelar. Tak satupun muncul dari kedua bibirnya kata persuasif, intimidatif, ataupun provokatif. Padahal keponakan beliau KH. Hamid Wahid adalah salah satu kandidat CABUP. Masya Allah betapa arifnya beliau!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar